Tuesday, September 19, 2006

Lebaran Topat

TRADISI lebaran tidak hanya sebatas ajang silaturrahmi, tetapi telah tumbuh menjadi ajang rekreasi keluarga, bahkan menjadi salah satu aset daya tarik wisata. Kemasan yang menarik akan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar sehingga lebaran menjadi lebih bermakna.

Sama halnya dengan lebaran ketupat yang diberbagai daerah di Nusantara memiliki kekayaan sesuai kreatifitas masyarakatnya. Momentum sepekan sesudah hari raya Idul Fitri itu menjadi pusat berbagai kegiatan masyarakat.

Tradisi berlebaran menjadi milik masyarakat dari Sabang hingga Merauke, kekayaan tradisi yang berkembang massal dapat menjadi ajang pemberdayaan bagi masyarakat. Sedikit kemasan yang mendapat dukungan dari pemerintah daerah akan menjadi momen penting bagi masyarakat, baik para perantau yang kembali ke kampung halaman maupun masyarakat sekitarnya.

Diawali dengan Idul Fitri yang menjadi puncak tradisi masyarakat Nusantara, diikuti dengan budaya yang sangat kaya akan makna. Di sana terdapat berbagai bentuk ungkapan kasih sayang, silaturrahmi dengan banyak variasi sesuai apresiasi masyarakatnya.

Lebaran Topat merupakan tradisi masyarakat Lombok sejak ratusan tahun silam dan diadakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri diberbagai tempat terutama di Batulayar. Bukan saja objek wisata pantai melainkan berbagai tempat yang memiliki daya tarik sesuai kharakteristik masyarakatnya. Anak-anak muda biasanya lebih menyukai tantangan sehingga memilih objek di gunung-gunung tinggi.

Di hadapan ribuan masyarakat Lombok yang merayakan Lebaran Topat, dia menjelaskan, dzikir dan doa diharapkan dapat memberikan kekuatan sehingga dapat menghadapi permasalahan bangsa yang akhir-akhir ini semakin kompleks.

LEBARAN Topat juga bisa diartikan menjauhkan diri dari nafsu kebendaan dan membersihkan batin dari perbuatan sirik dan dengki setelah nuraninya terjerembab oleh ego dan kemeriahan budaya materi yang semu.

Artinya manusia harus kembali ke fitrahnya, seperti menyeimbangkan kebutuhan materi dengan spiritual. Itu disimbolkan dengan beseraup, biar kotoran yang melekat di wajah dibersihkan oleh air yang digunakan untuk raup tadi, sehingga manusia tidak sakit secara fisik dan mental. Bisa jadi pula ketupat yang berbentuk empat persegi yang menyiratkan asal muasal manusia yang terdiri air, tanah, api dan angin.

Karena itu, pula, dari aspek sosial, Lebaran Topat berarti otokritik dan introspeksi bagi manusia untuk mendapatkan jati diri setelah menempuh perjalanan hidup selama satu tahun. Misalnya melalui komunikasi antarsesama (berjabat tangan sembari bermaafan, saling mengingatkan agar tetap peka terhadap lingkungan. Ibarat sesenggak Sasak, dendek ipuh pantok gong’, (tak usah segan memukul/membunyikan gong). Itu mengajarkan manusia agar mengoreksi diri, di antaranya terbuka terhadap saran dan kritik orang lain.

Kepekaan terhadap lingkungan itu, seperti diucapkan Emi Suhaemi, "Selama ini, usai acara protokoler, ada yang nganget (mengunyah) dan ada yang ngengat (melihat)". Pengalaman sebelumnya, setelah acara resmi yang dihadiri para pejabat dan undangan lainnya, disuguhkan rupa-rupa hidangan makanan khas, sementara warga sekitar obyek wisata maupun pengunjung lain hanya menonton "orang makan". Maka setelah melalui pengamatan dan evaluasi, panitia mengundang anak yatim untuk ikut berbagi rasa makanan yang dihidangkan.

Kepekaan sosial yang terus terasah itu setidaknya menghindari timbulnya pengkotak-kotakan jurang kaya-miskin dan aneka perbedaan yang oleh kalangan tertentu suka-suka memprovokasi keberagaman itu untuk tujuan tertentu pula.

Tradisi-tradisi itu terus diimplementasikan sebagian besar rakyat kecil di pedesaan. Agaknya paradoks dengan kehidupan di perkotaan, seperti kalangan eksekutif dan legislatif yang kerap menyuarakan pemberdayaan masyarakat. Justru para elite itulah yang perlu diberdayakan agar tidak mempersoalkan aturan hukum masalah korupsi, kolusi dan nepotisme.


Monday, September 18, 2006

Perang Topat

Dari Tradisi Perang Topat---

Mempertontonkan Keluhuran Budi Manusia ''Tempo Doeloe''

PERANG topat (ketupat) setiap tahun berlangsung di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Upacara baru-baru ini jatuh pada 25 Desember, yaitu saat raraq kembang waru alias gugurnya bunga waru. Acara itu merupakan lambang kerukunan antarumat beragama, khususnya masyarakat Sasak (pemeluk Islam) dan masyarakat etnis Bali (pemeluk Hindu).

Perang topat dimulai pukul 15.45, dan berakhir saat matahari tenggelam. Upacara itu sudah jadi agenda pariwisata. Wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Sehari sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau penaek gawe. Ada lagi acara mendak alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung.

Kemudian ada pula penyembelihan kerbau. Ada sesajen berupa jajan sembilan rupa, buah-buahan, dan minuman. Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat menyumbangkan 1.000 ketupat untuk perang-perangan itu.

Komandan Korem 162 Wira Bhakti, Kolonel Iping Soemantri, dipercaya sebagai pelempar pertama ketupat. Setelah itu diikuti para warga. Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul selama sekitar satu jam.

Ketupat itu diperebutkan. Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, atau isinya mecotot, tetap dipunguti orang, khususnya petani, untuk dibawa pulang dan ditempatkan di sudut-sudut pematang sawah atau digantung di pohon buah-buahan. ''Topat ini saya tanam dalam sawah biar padi tumbuh subur,'' kata Yusuf, petani dari Lombok Tengah.

Kenapa perangkat perangnya tak diganti? ''Ini upacara agraris. Kebiasaan masyarakat agraris adalah mempersembahkan hasil bumi itu sendiri,'' kata Lalu Wacana, anggota Dewa Penasihat Krama Adat Sasak, kepada Heri Suparman dari Gatra. Maksud upacara itu adalah untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak.

Memang perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun muncrat, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar.

Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar
kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.

Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah. Dan itu patut disyukuri karena, menurut Bupati Lombok Barat, H.L. Mudjitahid, upacara tersebut merupakan lambang kerukunan umat beragama. ''Orangtua kita dulu begitu arif menata kehidupan bersama. Orang Hindu bisa berdampingan dengan orang Islam, dan kejadian itu sudah berlangsung ratusan tahun lalu,'' kata Mudjitahid.

Tampaknya kita harus belajar dari tradisi luhur yang dimiliki nenek moyang kita tempo doeloe. Di saat negeri ini diganggu berbagai konflik berbau SARA (suku, agama dan ras), di Lombok justru hidup dan berkembang tradisi perang topat. Sebuah tradisi tahunan yang mempertontonkan kerukunan antarsuku--Sasak (Lombok) dan Bali. Kendati mereka berbeda suku, toh tetap saja bisa melaksanakan hajatan secara bersama-sama. Mereka terlihat nyaman dan penuh kedamaian melaksanakan tradisinya. Seperti apa perang topat itu, dan bagaimana tradisi ini bisa bertahan hingga sekarang?

---------------------------------------

Setiap purnamaning sasih kanem--menurut hitungan panangggalan Bali atau sekitar bulan Desember, di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat dilangsungkan upacara pujawali. Biasanya, yang namanya pujawali, pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu. Namun khusus di Pura Lingsar, upacara pujawali setempat dirangkai dengan tradisi perang topat. Sebuah tradisi yang pelaksanaannya didominasi masyarakat suku Sasak--penduduk asli Lombok, bersama masyarakat dari suku Bali yang telah turun temurun bermukim di Lombok.

Perang topat bersamaan dengan upacara pujawali. Prosesinya pun tak bisa dipisahkan dari pelaksanaan upacara tahunan itu. Karena itu, hajatan besar ini dipuput Ida Pedanda (Pendeta Hindu-red). ''Kalau tak ada pujawali, perang topat tak kan dilaksanakan karena perang topat satu rangkaian dengan pelaksanaan pujawali. Prosesi ini tak bisa dipisah-pisah,'' kata I Gde Mandia, S.H., Ketua PHDI NTB. Kendati satu rangkaian dengan pujawali, pelaksanaan perang topat didominasi masyarakat suku Sasak yang notabene bukan umat Hindu.

Setelah umat Hindu ngaturang bakti dan ngelungsur amertha, prosesi perang topat mulai dilaksanakan, diawali dengan mengelilingkan sarana persembahyangan--sebagaimana layaknya mepurwadaksina. Prosesi ini dilaksanakan di dalam areal Pura Kemaliq. Sebagian besar pesertanya berasal dari suku Sasak. Tokoh-tokoh dari kedua suku--Sasak dan Bali, turut serta dalam prosesi itu.

Mereka mengitari areal dalam Kemaliq. Sekelompok tarian batek baris--tarian khas sebagaimana layaknya prajurit Belanda tempo doeloe lengkap dengan bedilnya juga beraksi selama upacara itu. Ada juga kesenian tradisional gendang beleq. Purwadaksina dilakukan beberapa kali. Setelah itu, sarana persembahyangan yang dikekelilingkan itu ditaruh pada tempat yang telah disediakan di dalam Pura Kemaliq. Di sini kembali ada prosesi yang dipimpin langsung pemangku dari suku Sasak. Bertepatan dengan roro' kembang waru (gugurnya bunga pohon waru)--sekitar jam lima sore, perang topat dimulai. Sebagaimana perang, peserta pun tampak seperti layaknya berperang. Namun, bukan saling pukul atau saling tusuk. Yang menjadi ''peluru'', juga bukan peluru asli atau pun batu, melainkan ketupat yang sebelumnya menjadi sarana upacara. Ketupat dilemparkan-lemparkan kepada siapa saja. Tak ada yang cedera.

Dengan penuh kegembiraan, peserta upacara terlibat dalam ''peperangan'' yang berlangsung beberapa menit itu. Seusai berperang, ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut kembali oleh peserta untuk dibawa pulang. Ketupat ini diyakini sebagai berkah dan ditebar di sawah-sawah penduduk karena dipercaya dapat menyuburkan tanaman padi.

Sejarah Pura Lingsar

Pura Lingsar dibangun pada masa jayanya kerajaan Karangasem Sasak sekitar tahun 1759. Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah yang memerintah Lombok bagian barat ketika itu. Dalam areal pura yang luas ini, terdiri dari empat bangunan pokok, yaitu Pura Gaduh, Kemaliq, pesiraman dan pesimpangan Bhatara Bagus Balian, serta Lingsar Wulon--tempatnya di hulu, juga disebut-sebut menjadi satu komplek.

Ketiga bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak, kecuali pesimpangan Bhatara Bagus Balian, ketiga tempat itu dipuput Ida Pedanda--bahkan di Gaduh--lengkap Siwa-Buddha. ''Ke-empat tempat itu, termasuk di Lingsar Wulon--yang terletak dua ratus meter dari Gaduh, menjadi satu kompleks Pura Lingsar,'' kata Gede Mandia.

Sebagaimana pura, kompleks yang dihiasi sejumlah pohon manggis dan nagesari itu merupakan tempat persembahyangan umat Hindu. Nah, di sinilah menariknya, di kompleks pura yang luas itu terdapat Kemaliq--tempat yang sangat disucikan bagi masyarakat suku Sasak--terutama penganut kepercayaan wetu telu.

Konon, tempat itu dibangun sebagai lambang persatuan. Karena itulah, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam kompleks pura yang luas itu. Kalau toh, posisi Kemaliq--secara geografis lebih rendah dengan Gaduh, bukan berarti Gaduh lebih tinggi, melainkan karena Kemaliq dibangun pada pusat mata air Lingsar. Itu yang menyebabkan, Kemaliq berada lebih bawah dibandingkan dengan Gaduh.

Pada hari-hari tertentu, masyarakat penganut wetu telu banyak mendatangi tempat itu guna melaksanakan persembahyangan. Pemangkunya pun, asli dari suku Sasak. Tak hanya warga dari Suku Bali dan Sasak yang kerap mendatangi tempat itu, warga keturunan pun banyak yang memohon berkah di sana. Maka jadilah Kemaliq, tempat persembahyangan dan memohon berkah bagi siapa saja--tanpa membedakan suku, agama dan ras (SARA).

Siapa saja yang mempercayai dan ingin ''berhubungan'' dengan Tuhan di tempat itu, tak pernah dipermasalahkan, sepanjang mentaati aturan di pura tersebut. Karena itulah, Pura Lingsar perwujudan sikap toleran dari penduduk yang beragam suku, agama dan ras, dan sekaligus menjadi simbol pemersatu.

Simbol toleransi, juga dilambangkan dengan aturan tak tertulis, bahwa siapa saja yang datang ke tempat suci itu, tak diperkenankan menghaturkan sesaji dari babi. Jangankan dipergunakan sebagai bebantenan, pemedek yang akan tangkil ke pura tersebut juga tak boleh memakan daging babi.

Gendang Beleq


Go to any festival or ceremony in Central Lombok and you will hear the beat of drums over all else. These big drums are called Gendang Beleq. The big shape and loud sound of the drums characterize the spirit of war, indeed, according to historians, the drums were used to escort soldiers in battle during the eras when Lombok was ruled by kings. Nowadays however the drums are used for more peaceful occasions such as in wedding carnival parades called Nyongkolan and also as a welcome for important guests.

Gendang Beleq is a favourite among music teachers and lovers of ethnic music styles. The Gendang Beleq (Gendang=Drum / Beleq=Big) orchestra is only to be found in Lombok and at times has up to 40 members.

Originally played when moving into battle, the Gendang Beleq nowadays is performed during weddings and various traditional festivals. Its thriving rhythm is rather different from the usual gamelan tones and also involves some dancing techniques whilst playing the Big Drum or the Ceng-Ceng (hand-cymbals). Every village in Lombok has its own Gendang Beleq orchestra wearing colourful uniforms during performances. If you are lucky you will be part of such a performance.

To take part in this elective you should be very open minded and not feel shy since you will be the centre of attention especially in the first days. The whole village will be there to watch. However, after some time everybody will be used to your presence and you will make many new friendships and will have an unforgettable experience.

Peresean



peresean
adalah sebuah upacara tarian kuno yang menunjukkan kembali legenda ratu Mandalika yang daripada melihat dua tunangannya berkelahi sampai mati demi memenangkannya dalam pernikahan, memilih untuk mengambil nyawanya sendiri. Bersenjatakan tongkat rotan, para penari (pepadu) menyerang satu sama lain (saling empok kadu penjalin), mempertahankan sabetan lawannya dengan sebuah tameng dari kulit sapi (dan sejenisnya).

Sebagaimana hubungannya dengan sejarah, tarian itu juga sebagai permintaan kepada Tuhan untuk menurunkan hujan pada musim tanam yang pada zaman kuno dulu percaya bahwa semakin banyak darah tertumpah maka kemungkinan hujan akan semakin nyata.

Pada saat ini perlombaan peresean sering diadakan rata-rata di setiap daerah di Lombok. Terkadang diadakan lomba antar Kabupaten dan kecamatan. dan biasanya lomba presean ini diiringi oleh music gamelan.

Kearifan Tradisional

Arus modernisasi melaju tanpa bisa dihentikan. Mesin-mesin terus berproduksi, pabrik-pabrik didirikan di sana-sini, deretan buruh berjajar rapi memanjang bagai gerigi-gerigi yang siap bekerja siang-malam. Petani kita sudah bermigrasi dalam budaya pertanian yang canggih. Suara traktor mengganti leguh kerbau dan suara alu sudah lama berganti dengan deru mesin heuler. Para nelayan sudah menggunakan mesin boat dan alat tangkap high -tech.


Pencapaian ilmu tekhnologi memungkinkan kita untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari hari kemarin. Peningkatan produksi adalah konsekuensi logis dari kompleksitas baru kehidupan kita Efisiensi dan efektivitas merupakan kata sakti bagi prestasi kita setiap hari untuk mendapatkan kedudukan yang pantas di tengah pusaran arus zaman ini.


Namun di tengah itu semua, apakah kita tidak boleh mengajukan "pertanyaan tentang asal", menyenangi "kejernihan", atau merindukan kembali "posisi manusia dalam peradaban". Kemanakah kemartabatan yang ikut tertelan mesin-mesin dan arus modernisasi itu, penghargaan kemanusiaan yang hilang dari benak kita semua, atau sekedar menjawab pertanyaan nyinyir "untuk apa masa lalu?"

Bagi masyarakat Sasak, upaya menemukan kembali nilai-nilai kearifan tradisional, semiologi peradaban, penghargaan pada tali persaudaraan (sabuk belo), merupakan titik pangkal untuk melompat lebih tinggi. Inilah sebagian dari pentingnya revitalisasi Kerajaan Selaparang. Memaknai kembali setiap pertanda untuk kebangkitan kembali tradisi orang Sasak.

Jika dahulu kita mampu mengelola potensi pangan dan gizi kita, mengapa sekarang ada "busung lapar" dan jika dahulu kita mampu menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) mengapa kini semakin kabur memahaminya. Jika di saat itu, partisipasi politik perempuan sangat menonjol, untuk apa lagi kita mengadopsi ideologi Barat untuk memprtengkarkan keluarga kita. bukan gender, bukan feminisme, bukan WID (women in develpment), namun sebuah penghargaan yang menyeluruh pada nilai-nilai utuh perempuan, tentu dengan istilah dan wilayah makna yang sangat khusus.

Jika di masa Selaparang, kita mampu menghargai kemajemukan, perbedaan, warna-warni dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, mengapakah sampai saat ini kita masih terngiang-ngiang euphoria etnosentrisme yang sesat jalan.

Terlalu banyak yang dapat dilihat sebagai bahan pembelajaran bagi generasi bangsa ini yang diketuk dari pintu Kerajaan Selaparang, sebuah kedaulatan yang diakui sebagai bagian yang utuh dari mutu manikam sejarah indonesia. Anggaplah ini sebagai andil bangse Sasak dalam kemuliaan dan kemartaban Bangsa Indonesia, seperti andil bangsa melayu pada bahasa, andil saudara kita bangsa - Makasar - Bugis dan Masyarakat pelaut Indonesia dalam perekatan bangsa indonesia.

Sukses selalu buat Lombok

The Forgotten Island

Di antara pulau-pulau di Indonesia, Pulau Lombok yang luasnya 4.738,7 km2 terletak diantara Pulau Bali di sebelah Barat, dan Pulau Sumbawa di sebelah Timur. Perbatasan dengan Pulau Bali diantarai oleh Selat Lombok, dan dengan Pulau Sumbawa oleh Selat Sumbawa. Sementara di sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.

Terdapat perbedaan jenis permukaan dataran, kesuburan, dan iklim antar berbagai bagian wilayah pulau ini. Di bagian utara, terdapat rangkaian gunung-gunung yang masih aktif, seperti Gunung Punikan dengan ketinggian 1.490 m di atas permukaan laut, Gunung Sangkareang [2. 914 m], Gunung Rinjani [3,775 m], dan Gunung Nangi [2.330 m]. Di antara gunung-gunung tersebut, pada ketinggian 2.008 m di atas permukaan laut, terdapat sebuah danau bernama Segara Anak. Air danau ini mengandung kadar sulfur yang sangat tinggi dan mineral-mineral lainnya. Kondisi inimempengaruhi warna air yang mengalir pada Kokoq Puteq, yang berarti Sungai Putih. Airnya seperti susu dan agak keruh. Di wilayah ini agak sedikit ditemukan tanah-tanah pertanian. Kondisi ini sangat berbeda dengan bagian tengah yang terdiri atas kurang lebih 60 km dari barat ke timur dan 30 km dari utara ke selatan. Tanahnya sangat subur dengan sistem pengairan yang cukup baik. Akibatnya konsentrasi penduduk sangat dominan di wilayah ini.

Lain halnya dengan bagian selatan. Rangkaian wilayah subur di bagian tengah perlahan berkurang di wilayah ini dan digantikan dengan wilayah perbukitan,semi-gurun, yang jarang dituruni hujan. Inilah yang disebut lahan kritis, dimana tidak terdapat persawahan yang dikelola dengan sistem irigasi. Masyarakat sangat bergantung kepada turunnya hujan untuk dapat mengolah sawahnya.Kendati terdapat perbedaan jumlah areal pertanian serta karakter tanah, pertanian tetap menjadi mata pencaharian utama masyarakat yang mendiami pulau Lombok, bahkan dalam peta ekonomi daerah menjadi sektor yang paling dominan. Pada tahun 2000, tercatat kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Regional Bruto [PDRB] Propinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 38,2 %, diluar sektor Migas. Walau menunjukkan kecenderungan menurun dari tahun ke tahun [Tahun 1999 sebesar 40,8 % dan tahun 1998 sebesar 42,9 %], kontribusi sektor ini masih tetap dominan.

Sektor industri dan jasa masih belum banyak memberikan andil, mengingat masih lemahnya kekuatan ekonomi rakyat di sektor ini. Jumlah unit-unit industri sangat jauh tertinggal dengan penyerapan tenaga kerja yang tidak terlalu signifikan.

Secara administratif Pulau Lombok terdiri dari empat kabupaten/kota, yakni Kabupaten Lombok Barat dengan ibukota Mataram, Kabupaten Lombok Tengah ibukota Praya, Kabupaten Lombok Timur dengan ibukoln Selong dan Kota Mataram dengan ibukota Mataram. Keseluruhan kabupaten/kota ini merupakan bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Secara historis Pulau Lombok sejak tanggal 19 Agustus 1945 termasuk dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil, yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Rote, Sumaba dan Sawu denagn ibukotanya di Singaraja, Bali dan dipimpin oleh Gubernur I Gusti Ketut Pudja. Kemudian pada tanggal 14 Agustus 1958, Propinsi Sunda Kecil ini dipisah menjadi tiga propinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat [NTB], dan Nusa Tenggara Timur [NTT]. Pulau Bali menjadi propinsi tersendiri dengan ibukota Denpasar. Sementara Pulau Lombok dan Sumbawa disatukan menjadi propinsi Nusa Tenggara Barat [NTB] dengan ibukota Mataram. Scdangkan pulau-pulau di kawasan timur, mulai dari Pulau Flores, Timor, Rote, Sumba dan Sawu, menjadi Propinsi Nusa Tenggara Timu (NTT) dengan ibu kota Kupang.

Berdasarkan hasil Susensus 2001, jumlah yang mendiami pulau Lombok sebanyak 2.722.123 jiwa. Jumlah ini merupakan 70,5 % dari keseluruhan penduduk Nusa Tenggara Barat, yakni 3.862.854 jiwa. Sementara sisanya, sebesar 1.140.731 jiwa mendiami Pulau Sumbawa. Berdasarkan data ini, dapat dikatakan bahwa Pulau Lombok yang luasnya 4.738,7 km2, memiliki penyebaran penduduk yang cukup padat, dibandingkan dengan Pulau Sumbawa yang luasnya 15.414,45 km2 dan hanya didiami oleh 1.140.731 km2. Berikut persebaran penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan luas wilayahnya.

Dari sudut pandang agama, Pulau Lombok didiami oleh mayoritas masyarakat Muslim yang umumnya merupakan masyarakat asli pulau ini, yakni masyarakat Sasak. Jumlahnya mencapai 94,8 % dari keseluruhan penduduk. Kendati jumlahnya jauh dibanding penganut Agama Islam, penganut Agama Hindu mencapai 3,7 %, jauh lebih besar dibanding Agama Budha yang hanya 1,2 %, Agama ' Kristen Protestan [0,2 %], dan Agama Kristen Katolik [0,1%]. Besarnya jumlah penganut Agama Hindu ini lebih disebabkan olen pengaruh historis kekuasaan Kerajaan Mataram Karang Asem selama 209 tahun dari tahun 1686 sampai tahun 1895.

Dominannya jumlah umat Islam di Pulau Lombok, tentu mempunyai pengaruh kepada jumlah tempat-tempat peribadatan [baca: Mesjid] yang menjadi salah satu indikator adanya penganut Agama Islam serta jema'ah hajji yang menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Dari sumber Departemen Agama Propinsi Nusa Tenggara Barat, terdapat 3151 buah mesjid di seantero pulau ini. Tidaklah mengherankan kemudian apabila terdapat sekelompok orang yang menjuluki pulau ini dengan Pulau Seribu Mesjid. Sedangkan jumlah jama'ah haji dari Pulau Lombok pada tahun 2001 berjumlah 3312 orang atau 65 % dari total jema'ah haji asal Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Sejarah Lombok

Merekonstruksi sejarah Kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeiuruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusurl sebagal bahan pengkajlan leblh ianjut.

Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.

Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat setidak-tidaknya tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang. Pertama, disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae' yang diperkirakan berkodudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerjaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun Sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.

Kedua, disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam lautan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kernudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.

Ketiga, disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinyo ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.

Agak sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya sumber-sumber sejarah menj adi alasan yang tak terelakkan.
Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Surnpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kernudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.

Ekspedisi ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok, dalam perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.

Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, gersik, dan Sulawesi.

Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang meng-Islam-kan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, peng-Islam-an ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.

"Susuhnii Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepadafaham pagan. Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung."

Proses peng-Islam-an oleh Sunan Prapen menuai basil yang menggembirkan,hingga beberapa tahun kemudia seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali bebrap tempat yang masih meme[ertahankan adatistiadat lama.

Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.

Menurut Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air yang melimpah.

Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manuskrip-manuskrip sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini.
Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manuskrip Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.
Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 b menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.

Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).

Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi monemui kegagalan.

Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel denagn cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.

Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan membangun Kerajaan Manggarai.

Ekspansi Gowa ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada tahun 1624, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang Gelgel.

Akan tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom. Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerjasama dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili Gowa, berkedudukan di bagian bara pulau Sumbawa.

Akhirnya perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Sejarah mencatat Gow harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun 1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda. Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut gagal.

Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622.

Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.

Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab.
Dalam kecamuk peperangandan upaya mengahadapi masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.

Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.

Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.

Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.