Monday, September 18, 2006

Perang Topat

Dari Tradisi Perang Topat---

Mempertontonkan Keluhuran Budi Manusia ''Tempo Doeloe''

PERANG topat (ketupat) setiap tahun berlangsung di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Upacara baru-baru ini jatuh pada 25 Desember, yaitu saat raraq kembang waru alias gugurnya bunga waru. Acara itu merupakan lambang kerukunan antarumat beragama, khususnya masyarakat Sasak (pemeluk Islam) dan masyarakat etnis Bali (pemeluk Hindu).

Perang topat dimulai pukul 15.45, dan berakhir saat matahari tenggelam. Upacara itu sudah jadi agenda pariwisata. Wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Sehari sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau penaek gawe. Ada lagi acara mendak alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung.

Kemudian ada pula penyembelihan kerbau. Ada sesajen berupa jajan sembilan rupa, buah-buahan, dan minuman. Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat menyumbangkan 1.000 ketupat untuk perang-perangan itu.

Komandan Korem 162 Wira Bhakti, Kolonel Iping Soemantri, dipercaya sebagai pelempar pertama ketupat. Setelah itu diikuti para warga. Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul selama sekitar satu jam.

Ketupat itu diperebutkan. Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, atau isinya mecotot, tetap dipunguti orang, khususnya petani, untuk dibawa pulang dan ditempatkan di sudut-sudut pematang sawah atau digantung di pohon buah-buahan. ''Topat ini saya tanam dalam sawah biar padi tumbuh subur,'' kata Yusuf, petani dari Lombok Tengah.

Kenapa perangkat perangnya tak diganti? ''Ini upacara agraris. Kebiasaan masyarakat agraris adalah mempersembahkan hasil bumi itu sendiri,'' kata Lalu Wacana, anggota Dewa Penasihat Krama Adat Sasak, kepada Heri Suparman dari Gatra. Maksud upacara itu adalah untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak.

Memang perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun muncrat, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar.

Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar
kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.

Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah. Dan itu patut disyukuri karena, menurut Bupati Lombok Barat, H.L. Mudjitahid, upacara tersebut merupakan lambang kerukunan umat beragama. ''Orangtua kita dulu begitu arif menata kehidupan bersama. Orang Hindu bisa berdampingan dengan orang Islam, dan kejadian itu sudah berlangsung ratusan tahun lalu,'' kata Mudjitahid.

Tampaknya kita harus belajar dari tradisi luhur yang dimiliki nenek moyang kita tempo doeloe. Di saat negeri ini diganggu berbagai konflik berbau SARA (suku, agama dan ras), di Lombok justru hidup dan berkembang tradisi perang topat. Sebuah tradisi tahunan yang mempertontonkan kerukunan antarsuku--Sasak (Lombok) dan Bali. Kendati mereka berbeda suku, toh tetap saja bisa melaksanakan hajatan secara bersama-sama. Mereka terlihat nyaman dan penuh kedamaian melaksanakan tradisinya. Seperti apa perang topat itu, dan bagaimana tradisi ini bisa bertahan hingga sekarang?

---------------------------------------

Setiap purnamaning sasih kanem--menurut hitungan panangggalan Bali atau sekitar bulan Desember, di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat dilangsungkan upacara pujawali. Biasanya, yang namanya pujawali, pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu. Namun khusus di Pura Lingsar, upacara pujawali setempat dirangkai dengan tradisi perang topat. Sebuah tradisi yang pelaksanaannya didominasi masyarakat suku Sasak--penduduk asli Lombok, bersama masyarakat dari suku Bali yang telah turun temurun bermukim di Lombok.

Perang topat bersamaan dengan upacara pujawali. Prosesinya pun tak bisa dipisahkan dari pelaksanaan upacara tahunan itu. Karena itu, hajatan besar ini dipuput Ida Pedanda (Pendeta Hindu-red). ''Kalau tak ada pujawali, perang topat tak kan dilaksanakan karena perang topat satu rangkaian dengan pelaksanaan pujawali. Prosesi ini tak bisa dipisah-pisah,'' kata I Gde Mandia, S.H., Ketua PHDI NTB. Kendati satu rangkaian dengan pujawali, pelaksanaan perang topat didominasi masyarakat suku Sasak yang notabene bukan umat Hindu.

Setelah umat Hindu ngaturang bakti dan ngelungsur amertha, prosesi perang topat mulai dilaksanakan, diawali dengan mengelilingkan sarana persembahyangan--sebagaimana layaknya mepurwadaksina. Prosesi ini dilaksanakan di dalam areal Pura Kemaliq. Sebagian besar pesertanya berasal dari suku Sasak. Tokoh-tokoh dari kedua suku--Sasak dan Bali, turut serta dalam prosesi itu.

Mereka mengitari areal dalam Kemaliq. Sekelompok tarian batek baris--tarian khas sebagaimana layaknya prajurit Belanda tempo doeloe lengkap dengan bedilnya juga beraksi selama upacara itu. Ada juga kesenian tradisional gendang beleq. Purwadaksina dilakukan beberapa kali. Setelah itu, sarana persembahyangan yang dikekelilingkan itu ditaruh pada tempat yang telah disediakan di dalam Pura Kemaliq. Di sini kembali ada prosesi yang dipimpin langsung pemangku dari suku Sasak. Bertepatan dengan roro' kembang waru (gugurnya bunga pohon waru)--sekitar jam lima sore, perang topat dimulai. Sebagaimana perang, peserta pun tampak seperti layaknya berperang. Namun, bukan saling pukul atau saling tusuk. Yang menjadi ''peluru'', juga bukan peluru asli atau pun batu, melainkan ketupat yang sebelumnya menjadi sarana upacara. Ketupat dilemparkan-lemparkan kepada siapa saja. Tak ada yang cedera.

Dengan penuh kegembiraan, peserta upacara terlibat dalam ''peperangan'' yang berlangsung beberapa menit itu. Seusai berperang, ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut kembali oleh peserta untuk dibawa pulang. Ketupat ini diyakini sebagai berkah dan ditebar di sawah-sawah penduduk karena dipercaya dapat menyuburkan tanaman padi.

Sejarah Pura Lingsar

Pura Lingsar dibangun pada masa jayanya kerajaan Karangasem Sasak sekitar tahun 1759. Pura ini dibangun oleh Anak Agung Ngurah yang memerintah Lombok bagian barat ketika itu. Dalam areal pura yang luas ini, terdiri dari empat bangunan pokok, yaitu Pura Gaduh, Kemaliq, pesiraman dan pesimpangan Bhatara Bagus Balian, serta Lingsar Wulon--tempatnya di hulu, juga disebut-sebut menjadi satu komplek.

Ketiga bangunan Gaduh, Kemaliq dan Bhatara Bagus Balian hanya dibatasi dengan tembok besar. Saat pujawali berlangsung, upacara dilaksanakan secara serentak, kecuali pesimpangan Bhatara Bagus Balian, ketiga tempat itu dipuput Ida Pedanda--bahkan di Gaduh--lengkap Siwa-Buddha. ''Ke-empat tempat itu, termasuk di Lingsar Wulon--yang terletak dua ratus meter dari Gaduh, menjadi satu kompleks Pura Lingsar,'' kata Gede Mandia.

Sebagaimana pura, kompleks yang dihiasi sejumlah pohon manggis dan nagesari itu merupakan tempat persembahyangan umat Hindu. Nah, di sinilah menariknya, di kompleks pura yang luas itu terdapat Kemaliq--tempat yang sangat disucikan bagi masyarakat suku Sasak--terutama penganut kepercayaan wetu telu.

Konon, tempat itu dibangun sebagai lambang persatuan. Karena itulah, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam kompleks pura yang luas itu. Kalau toh, posisi Kemaliq--secara geografis lebih rendah dengan Gaduh, bukan berarti Gaduh lebih tinggi, melainkan karena Kemaliq dibangun pada pusat mata air Lingsar. Itu yang menyebabkan, Kemaliq berada lebih bawah dibandingkan dengan Gaduh.

Pada hari-hari tertentu, masyarakat penganut wetu telu banyak mendatangi tempat itu guna melaksanakan persembahyangan. Pemangkunya pun, asli dari suku Sasak. Tak hanya warga dari Suku Bali dan Sasak yang kerap mendatangi tempat itu, warga keturunan pun banyak yang memohon berkah di sana. Maka jadilah Kemaliq, tempat persembahyangan dan memohon berkah bagi siapa saja--tanpa membedakan suku, agama dan ras (SARA).

Siapa saja yang mempercayai dan ingin ''berhubungan'' dengan Tuhan di tempat itu, tak pernah dipermasalahkan, sepanjang mentaati aturan di pura tersebut. Karena itulah, Pura Lingsar perwujudan sikap toleran dari penduduk yang beragam suku, agama dan ras, dan sekaligus menjadi simbol pemersatu.

Simbol toleransi, juga dilambangkan dengan aturan tak tertulis, bahwa siapa saja yang datang ke tempat suci itu, tak diperkenankan menghaturkan sesaji dari babi. Jangankan dipergunakan sebagai bebantenan, pemedek yang akan tangkil ke pura tersebut juga tak boleh memakan daging babi.

No comments: